MAKALAH
OBAT SISTEM PERNAFASAN
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Farmakologi Oleh :
Kelompok VII
1. Dwi Aryani
2. Ela Murpratiwi
3. Murah Juliana
4. Nafiatun Kurniasari
AKADEMI KEPERAWATAN
SERULINGMAS CILACAP
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
diciptakan dengan susunan organ-organ tubuh yang lengkap yang saling menyatu
membentuk berbagai macam sistem, yang diantaranya yaitu sistem pernafasan.
Seperti halnya semua benda yang ada didunia ini tak terlepas dari gangguan,
begitu juga dengan sistem pernafasan kita. Kemungkinan untuk terjadi gangguan
pada sistem pernafasan setiap manusia pasti selalu ada dan bermacam-macam jenis
gangguannya serta pengobatannya.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan mencoba membahas sedikit ulasan
mengenai obat-obatan yang bekerja pada sistem pernafasan manusia dari beberapa
sumber yang kami dapatkan untuk memperluas pengetahuan kita mengenai materi
farmakologi yang pasti nantinya akan sangat bermanfaat bagi kita sebagai
seorang tenaga kesehatan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang di maksud dengan rhinitis?
2.
Apa saja obat-obatan untuk penderita rhinitis?
3.
Bagaimana cara kerja obat tersebut?
4.
Adakah efek samping penggunaan obat-obatan
tersebut?
5.
Apa yang di maksud dengan bronkodilator dan dekongestan?
6.
Apa yang di maksud dengan mukolitik dan
ekspektoran?
7.
Apa yang di maksud dengan antitusif?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah farmakologi
2.
Untuk menambah wawasan tentang obat-obatan dalam
saluran pernafasan
3.
Untuk berbagi pengetahuan dengan para pembaca
pada umumnya, dan teman sejawat pada khususnya
4.
Untuk menambah referensi bagi para pembaca
sekalian
D.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A.
RHINITIS
1.
Pengertian
Rhinitis adalah radang membran
mukosa hidung yang ditandai dengan bersin, gatal, hidung berlendir, dan
kongesti atau hidung tersumbat. Rhinitis dapat terjadi karena menghirup
alergen, seperti debu, bulu binatang, serbuk sari bunga tertentu, asap rokok dn
polutan. Zat-zat tersebut berinteraksi dengan selmast merangsng pelepasan
histamin, leukotrin atau zat lain yang dapat menyebabkan konstriksi bronkus,
udem, urtikaria, dan infiltrasi sel.
Terapi
rhinitis yang utama dalah pemberian antihistamin oral yang dikombinasikan
dengan dekongestan. Namun demikian, sering obat anti alergi diberikan secara
topikal untuk mengurangi efek sistemiknya. Efek samping kombinasi antihistamin
dengan dekongestan yang diberikan sistemik adalah sedasi atau ngantuk, insomnia
dan aritmia (jarang)
2.
Obat Untuk Terapi Rhinitis
Banyak kelompok obat yang
digunakan untuk Alergi Hidung atau Rinitis alergi. Obat tersebut antara lain :
a. Antihistamin
b. Kortikosteroid
c. Dekongestan
d. Antileukotrienes.
Ini dapat dibagi lagi menjadi
terapi intranasal dan oral. Pemberian obat intranasal memiliki keuntungan
secara langsung mempengaruhi tindakan, dan secara umum, intranasal obat
memiliki efek samping lebih sedikit dan tidak ada efek sistemik. Keuntungan
utama dari terapi oral adalah kemudahan penggunaan. Beberapa pasien menolak
menggunakan obat intranasal.
1.
Antihistamin
a.
Pengertian
Antihistamin
adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Antihistamin terutama
dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain
yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara
rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena
pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang
banyak menjanjikan keuntungan.
Pada garis besarnya antihistamin
dibagi dalam 2 golongan besar :
1) Menghambat
reseptor H1
H1-blockers (antihistaminika klasik)
Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari
dinding pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula
melawan efek histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction).
Efeknya adalah simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya
reaksi alergi Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok,
tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya
terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.
2) Menghambat
reseptor H2
H2-blockers (Penghambat asma)
obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat
akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung.
Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi
vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada
terapi tukak lambug usus guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai
zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula sering
kali bersama suatu zat stimulator motilitas lambung (cisaprida) pada penderita
reflux. Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin,
ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa
heterosiklis dari histamin.
b.
Mekanisme
Kerja
1) Antihistamin
bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor yang
spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang sama
dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan dengan
efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis
daripada untuk mengatasi serangan.
2) Mula
kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih
kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
3) Beberapa
jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast sehingga dapat
mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang
menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh
karena dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen
dan beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis
yang lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
c.
Efek
Samping
1)
Mengantuk
Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman
pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan
gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).
2)
Efek antikolinergik
Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis
besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat
terjadi. Pada pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
3)
Diskrasia
Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat
menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.
4)
Sensitisasi
Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan
menimbulkan urtikaria, eksim dan petekie.
5)
Pada dosis terapi, semua AH1
menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang
hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering ialah
sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien
yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan
kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.
6)
Pengurangan dosis atau penggunaan
AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin,
loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi. Efek samping yang berhubungan
dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi,
penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor.
7)
Efek samping yang termasuk sering
juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada
epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang bila AH1
diberikan sewaktu makan.
8)
Efek samping lain yang mungkin
timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit
kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek
antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin
nonsedatif.
9)
AH1 bisa menimbulkan alergi pada
pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan lokal berupa
dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi.
10)
Selain itu pemberian terfenadin
dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat ketokonazol,
troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT
dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini juga dapat terjadi pada
pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-pasien yang peka
terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien hipokalemia).
11)
Kemungkinan adanya hubungan kausal
antara penggunaan antihistamin non sedative dengan terjadinya aritmia yang
berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
12)
Sopir atau pekerja yang memerlukan
kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang kemungkinan
timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, harus digunakan dengan
hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alcohol, obat penenang atau
hipnotik sedative.
2.
Dekongestan
Obat golongan ini sering disebut
dekongestan atau orang awam menyebutnya obat pelega pernapasan. Dekongestan
menyebabkan konstriksi arterioral di mukosa hidung sehingga mengurangi
infiltrasi cairan dari pembuluh darah ke jaringan sekitar yang dapat
menyebabkan udem. Selain itu dekongestan juga dapat menyebabkan relaksasi
bronkus menyebabkan berkurangnya gangguan aspirasi udara masuk ke paru-paru.
Dekongestan sering diberikan
melalui aerosol untuk memperpendek onzet
dan mengurangi efek samping sistemiknya. Jika diberikan melalui oral, efeknya
akan panjang tetapi dapat menimbulkan efek samping sepertipeningkaan tekanan
darah dan denyut jantung. Kombinasi dengan antihistamin hanya boleh diberikan
dalam beberapa hari untuk mengurangi fenomena reboun kongesti jika pemberian
obat dihentikan. Contoh agonis α-adrenergik adalah fenileprin, pseudoefedrin,
dan okzimetazolin. Obat-obat tersebut bekerja pada reseptor α1 di
pembuluh darah mukosa hidung menyebabkan kontriksi sehingga mengurangi
perembesan cairan ke jaringan. Selain itu juga bekerja pada reseptor β2
di bronkus menyebabkan dilatasi.
3.
Kortikosteroid
a.
Pengertian
Obat
golongan ini diberikan untuk rhinitis jika antihistamin sudah tidak efektif.
Obat ini bukan pilihan utama untuk rhinitis karena efek sampingnya yang lebih
berat. Obat ini mungkin lebih efektif dari antihistamin oral dalam mengurangi
gejala rhinitis baik karena alergi atau non alergi. Untuk mengurangi efek
samping sistematiknya kortikosteroid sering diberikan secara topikal melalui
nasal spray. Contoh steroid yang sering digunakan adalah beklometason,
flutikason, dan triamsinolon.
Kortikosteroid
dikenal mempunyai efek yang kuat sebagai anti-inflamasi pada penyakit artritis
reumatoid, asma berat, asma kronik, penyakit inflamasi kronik dan berbagai
kelainan imunologik. Oleh karena efek anti inflamasi dan sebagai
immunoregulator, kortikosteroid memegang peranan penting pada pengobatan
medikamentosa penyakit alergi baik yang akut maupun kronik. Tetapi di samping
manfaatnya, karena efek sampingnya yang banyak juga menyebabkan penggunaan
kortikosteroid ini harus tepat guna dan tepat cara.
Obat ini merupakan obat yang sangat
banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan
glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi,
arteritis temporal, dermatitis, reaksialergi, asma, hepatitis, systemic lupus
erythematosus, inflammatory boweldisease, serta sarcoidosis. Selain sediaan
oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit,
mata, dan juga inflammatory boweldisease.
Baik kortikosteroid alami maupun
sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal.
Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk pengobatan
berbagai kelainan peradangan dan imunologi.
b.
Mekanisme
Kerja
1) Molekul
steroid memasuki sel dan berikatan dengan protein spesifik Obat golongan
kortikosteroid sebenarnya memiliki efek yang sama dengan hormon cortisone dan
hydrocortisone yang diproduksi oleh kelenjar adrenal, kelenjar ini berada tepat
diatas ginjal kita (lihat gambar). Dengan efek yang sama bahkan berlipat ganda
maka kortikosteroid sanggup mereduksi sistem imun (kekebalan tubuh) dan
inflamasi, makanya kalo orang dengan penyakit-penyakit yang terjadi karena
proses dasar inflamasi seperti rheumatoid arthritis, gout arthritis (asam urat)
danalergi gejalanya bisa lebih ringan setelah pemberian kortikosteroid.
2) Walaupun
tampaknya ada bermacam efek pada fungsi fisiologik, kortikosteroid tampaknya
mempengaruhi produksi protein dalam sitoplasma. Kompleks yang terjadi dibawa ke
dalam nukleus, lalu menimbulkan terbentuknya mRNA yang kemudian dikembalikan ke
dalam sitoplasma untuk membantu pembentukan protein baru, terutama enzim,
sehingga melalui jalan ini kortikosteroid dapat mempengaruhi berbagai proses.
Kortikosteroid juga mempunyai efek terhadap eosinofil, mengurangi jumlah dan
menghalangi terhadap stimulus. Pada pemakaian topikal juga dapat mengurangi
jumlah sel mast di mukosa. Kortikosteroid juga bekerja sinergistik dengan
agonis β2 dalam menaikkan kadar cAMP dalam sel.
3) Pada
waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspormenembus sel
membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmikglukokortikoid heat-shock
protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dankemudian kompleks hormon
reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur
respon glukokortikoid pada berbagai gen danprotein pengatur yang lain dan
merangsang atau menghambat ekspresinya.
4) Pada
keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA;
jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA.
5) Perbedaan
kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh
proteinspesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkanekspresi
unsur respons glukokortikoid utama.
6) Selain
itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpanbalik yang
terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin
diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi.
c.
Efek Samping
Manfaat yang diperoleh dari
penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus dipertimbangkan dengan
hati-hati pada setiap penderita terhadapbanyaknya efek pada setiap bagian
organism ini. Efek utama yang tidakdiinginkan dari glukokortikoidnya dan
menimbulkan gambaran klinik sindromcushing iatrogenik. Sindrom cushing
iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis
farmakologik untuk alasan yang bervariasi
Efek samping jangka pendek
1) Peningkatan
tekanan cairan di mata (glaukoma)
2) Retensi
cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
3) Peningkatan
tekanan darah
4) Peningkatan
deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang (orangnya jadi tambah
tembem)
Efek samping jangka panjang :
1) Katarak
2) Penurunan
kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga mudah
patah.
3) Menurunkan
produksi hormon oleh kelenjar adrenal
4) Menstruasi
tidak teratur
5) Mudah
terinfeksi
6) Penyembuhan
luka yang lama
Untuk lebih mengenal obat rhinitis, dalam tabel
berikut dicantumkan beberapa contoh beserta dosis lazimnya.
Tabel
Obat untuk Rhinitis dan Dekongestan
Nama Obat
|
Dosis Dewasa
|
Kegunaan
|
Klorfeniramin
|
2
– 4 mg setiap 4-6 jam
|
Antihistamin
|
Dimenhidrinat
|
50
– 100 mg setiap 4-6 jam
|
Antihistamin
|
Difenhidramin
|
25
– 50 mg setiap 4-8 jam
|
Antihistamin
|
Terfenadin
|
60
mg 2 kali sehari
|
Antihistamin
|
Astemisol
|
10
mg/hari
|
Antihistamin
|
Loratadin
|
10
mg/hari
|
Antihistamin
|
Ciproheptadin
|
4
– 20 mg/hari
|
Antihistamin
|
Fenilefrin
|
10
mg setiap 4-6 jam
|
Dekongestan
|
pseudoefedrin
|
30
mg 2 kali sehari
|
Dekongestan
|
B.
BRONKODILATOR DAN DEKONGESTAN
1.
Obat Sistemis
a.
Ma Huang,Ephedra spp.
1) Tumbuhan dan obat
Ma Huang (Ephedra sinica Stapf. Dan
spesies famili Ephedraceae lainnya) merupakan obat cina kuno,yang kini
digunakan seluruh dunia.Tanaman ini merupakan sumber asli efedrin,berkhasiat
sebagai dekongestan dan bronkodilator.Secara tradisional,tanaman ini digunakan
untuk mengobati asma dan hidung tersumbat,dalam bentuk tetes
hidung.Pseudoefedrin kini lebih banyak digunakan untuk pernapasan tersumbat
karena memiliki sifat merangsang system saraf pusat(SSP) yang lebih
kecil.Tanaman ini memiliki tangkai hijau ramping,yang memisah menjadi
cabang-cabang sekitar 20 tumpukan dengan panjang sekitar 15 cm,dan ujung daun
melipat tajam kebelakang.Ini adalah bagian yang berkhasiat sebagai obat.Daunnya
berkurang pada bagian pelepah disekitar batang.
2) Kandungan kimia
Alkaloid,hingga 3%,tetapi sangat
bervariasi;alkaloid utamanya adalah (-) –efederin,bersama kandungan lain
termasuk (+)-pseudoefedrin,norefedrin,norpseudoefedrin,efekdrosan,N-metilefedrin,maokonin,transtorin
dan senyawa efedadrin A-D.komponen lain adalah turunan katekin,dan senyawa
diterpen,termasuk efedranin A dan mahuanin A, telahdiisolasidari spesies
ephedra lainya.
3) Efek
farmakologis dan khasiat klinis
Ephedra telah lama digunakan di cina
sejak jaman kuno untuk asma dan hay fever,sebagai
bronkodilator,simpatomimetik,stimulant SSP dan jantung .Herbalis juga
menggunakan taaman ini untuk mengobati enuresis,alergi,narkolepsi dan gangguan
lain,dan dalam ekstrak juga teramati
adanya aktifitas anti radang.Efedrin digunakan dalam bentuk eliksir dan tetes
hidung,dan memiliki kegunaan tambahan sebagai pemercepat frekuensi jantung
dalam pengobatan beberapa tipe bradikardia.Pseudoefedrin,yakni isomer-D efedrin
yang di peroleh melalui sintesis kimia,biasanya merupakan senyawa pilihan untuk isolate sediaan
alkaloid.Efedrin dan pseudoefedrin merupakan subjek dalam monografi farmakope
eropa(Eur. Ph.),meskipun herbanya tidak
dibahas.Herba efedra digunakan sebagai obat anti alergi;hal ini didukung
olehbuti bahwa senyawa ini menginduksi immunoglobulin A dalam koyo Peyer dan
memblok aktifasi komplemen melalui jalur klasik maupun alterntif.
4) Toksikologi
Tanaman ini sering disalahgunakan
sebagai obat pelangsing,tetapi ini dapat berbahaya jika digunakan dalam dosis
tinggi untuk jangka panjang.Sebaga contoh,peristiwa hipertensi dan
kardiovaskular lain,serta suatu kasus hepatitis yang semakin memburuk,pernah
ditemukan.Absorbsi efedrin dan pseudoefedrin melambat seelah ingesti herba ini
dibandingkan isolat sediaan alkaloid sehingga harus dihindari untuk pasien
hipertensi.Herba ini biasaya tidak dipertimbangkan menyebakan hipertensi karena
komponen lain seperti afedradin,mahuanin dan maokonin,yang sebetulnya bersifat
hipotensif.Namun,penggunaan herba ini harus dihindari dalam kasus
tirotoksikosis,glaucoma sudut-tertutup dan retensi urine.Dosis terapeutik herba
ini diperkirakan 30 mg alkaloid,dihitung sebagai efedrin.
b.
Teofilin
1) Tumbuhan dan obat
Meskipun merupakan senyawa xantin alami,teofilin
yang terdapat dalam kokoa(theobroma cacao),kopi(coffea ssp) dan the(camellia
sinensis),hamper selalu digunakan sebagai senyawa tunggal.senyawa ini
diindikasikan untuk obstruksi jalan napas yang reversible,terutama dalam asma
akut.Karena batas antar dosis terapeutik dan dosis toksik sempit,serta adanya
fakta bahwa waktu paruh sangat bervariasi antar pasien,terutama pada perokok
dan penderita gagal jantung atau pada pasien yang menerima obat lain secara
bersamaan,penggunaan senyawa ini harus hati-hati.Dosis lazimnya adalah 125-250
mg untuk dewasa,3x sehari dan untuk anak separuh dari dosis dewasa.
2) Toksiologi
Efek samping teofilin meliput takikardia
dan palpitasi,mual dan gangguan gastrointestinal lainnya.Efek samping ini dapat
diredakan dengan menggunakan sediaan lepas-terkendali,dan bentuk tersebut
merupakan bentuk lazim produk teofilin.
C.
MUKOLITIK DAN EKSPEKTORAN
Tujuan penggunaan obat ini adalah untik mengurangi kekentalan mucus di
saluran pernapasan agar memudahkan pengeluaran lender dalam kasus infeksi
tenggorokan dan dada.Biasanya,minyak atsiri digunakan bersama senyawa aromatic
ekspektoran seperti kamfor.Banyak ekspektoran dicampurkan dalam obat batuk dan
meskipun khasiatnya sult di buktikan,produk ini sangat popular pada
pasien-pasien yang tidak dapat mendapat pengobatan lain.Semua obat ini di
gunakanuntuk batuk dan pilek,bronchitis dan sinusitis,biasanya bersamaan
dengan dekongestan
lain,demulsen,analgesic,dan kadang –kadang antibiotic.Beberapa obat ini
mengandung minyak atsiri dan salisilat(minyak
pucuk poplar,timi),dan juga dapat mengandung dekongestan yang telah di sebutkan
di atas(eukaliptus,mentol);sedangkan yang lain mengandung saponin(misalnya
senega,ivy).
1. Balsam Gilead(kuncup poplar),Populus
spp.
a. Tumbuhan dan obat
Kuncuppoplar(dari beragampopulus
spp.,termasuk P.candicans Ait, P.gileadensis Rouleau,P.balsamfera L.,dan
P.nigra L.,Salicaceae. Diambil saat musim semi sebelum mekar.P.gileadensis dan
P.nigra dibudidaya di eropa,sementara yang lain di Amerika Utara.Pucuk semua
spesies ini mirip,panjangnya 2cm dan lebarnya 0,5 cm,dengan seludang bunga
dangkal berwarna coklat yang tumpang tindih.Seludang bunga bagian dalam lengket
dan mengandung resin.Kulit kayu spesies-spesies ini juga dimanfaatkan.
b. Kandungan kimia
Semua spesies mengandung glikosida
fenolik salisin(glukosida alcohol salisil),populin(benzoil salisin)dan minyak
atsiri mengandung α-kariofilen,dengan sineol,bisabolen dan farnesen. Senyawa
flavonoid (pinosembrin dan pinobanksin)dan,sedikitnya dalam P.nigra,lignin,dengan
dasar isolarisiresinol,telah diisolasi.
c. Efek farmakologis dan khasiat klinis
Basam gillead merupakan suatu
ekspektoran,stimulant,antipiretik,dan analgesic.Balsam ini merupakan kandungan
lazim dalam obat batuk herbal dan juga pada salep yang digunakanuntuk rematik
dan nyeri otot lainnya.Glikosida fenolat(misalnya salisin) dan kandungan minyak
volatile memiliki aktifitas antiseptic dan ekspektoran.Bukti khasiatnya hanya
terdapat sedikit,tetapi obat ini lama digunakan secara tradisional.Kulit kayu
spesies poplar dimanfaatkan dengan carayang sama dengan kulit kayu
willow,sebagai anti rematik.
d. Toksikologi
B
alsam Gilead umumnya nontoksik.,kecuali untuk pasien yangalergi terhadap
salisilat.Jika obat dikonsumsi dalam jumlah berlebihan,dapat terjadi efek merugikan
seperti sakit perut dan tinnitus,akibat kandungan salisilatnya.
2. Timi dan Timi liar,Thymus vulgaris L.
dan Thymus serpyllum
a. Tumbuhan dan obat
Thymus vulgaris(dikenal sebagai timi kebun atau biasa) dan timi liar (T.serpyllum,induk timi
atau serpilum,lamiaceae) merupakan tanaman asli eropa, terutama di wilayah Mediterania, dan di budidaya secara
luas. Herba ini berukuran kecil berbentuk elips, berwarna hijau kebiruan dan
bertangkai pendek. Daun timi memiliki panjang sekitar 6 mm dan lebar 0,5 – 2 mm,
dengan seluruh tepi daun melengkung ke depan. Daun timi liar sedikit lebih
lebar dan tepinya tidak melengkung;tanaman ini memiliki daun dengan trikoma
yang panjang di pangkalnya. Jika dilihat secara mikroskopik, herba ini mirip,
keduanya memiliki ciri trikoma glandula lamiaceae. Perbedaan kecil di jelaskan
dalam Eur. Ph. Keduanya memiliki aroma khas timol dan digunakan sebagai bumbu
masakan.
b.
Kandungan kimia
Senyawa aktif tanaman ini
adalah minyak astiri, yang memiliki kandungan utama timol dan sedikit karvakrol,
1,8-sineol, borneol, metil eter timol dan α-pinen. Meskipun demikian, senyawa
falvanoid (apigenan, luteolin, timonin, dll) dan asam polifenolat (labiatat,
rosmanirat, dan kafeat) diharapkan memberikan efek anti radang dan antimikroba.
c.
Efek farmakologis dan khasiat klinik
Timi, dan minyak timi, bersifat
karminatif, antiseptik, antitusif, ekspektoran dan spasmolitik, serta
bahan-bahan ini digunakan untuk batuk, bronkhitis, sinusitus, batuk, rejan dan
keluhan pernafasan sejenis. Sebagian besar aktivitas di duga disebabkan adanya
timol yang bersifat ekspektoran dan antitusif kuat. Timol dan karvakrol
bersifat spasmolitik dan fraksi flavonoid memiliki efek kuat pada otot polos
trakea dan illeum marmut. Timol merupakan bahan yang populer digunakan untuk dalam
obat kumur, pasta gigi karena bersifat antiseptik dan penghilang bau tak sedap.
Minyak dapat digunakan secara internal dalam dosis kecil hingga 0,3 ml, kecuali
untuk digunakan sebagai obat kumur karean tidak di maksudkan untuk di telan
dalam jumlah banyak.
d.
Toksikologi
Timol bersifat iritan, toksik
jika overdosis sehingga harus digunakan secara hati-hati.
Sebenarnya
masih banyak lagi bahan-bahan obat Ekspektoran dan Mukolitik yang ada dalam
dunia farmakologi, akan tetapi kami hanya sedikit saja mengulas dari dua contoh
bahan yang ada.
D. ANTITUSIF
Secara umum berdasarkan tempat kerja obat, antitusif
dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan antitusif yang bekerja di
sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan narkotik dan
nonnarkotik.1
1. Antitusif
yang bekerja di perifer
Obat
golongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi lokal di saluran napas,
yaitu pada reseptor iritan perifer dengan cara anestesi langsung atau secara
tidak langsung mempengaruhi lendir saluran napas.1
a.
Obat-obat
anestesi
Obat anestesi lokal seperti benzokain, benzilalkohol,
fenol, dan garam fenol digunakan dalam pembuatan lozenges. Obat ini mengurangi
batuk akibat rangsang reseptor iritan di faring, tetapi hanya sedikit
manfaatnya untuk mengatasi batuk akibat kelainan saluran napas bawah.
Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti
tetrakain, kokain dan lidokain sangat bermanfaat dalam menghambat batuk akibat
prosedur pemeriksaan bronkoskopi.
c.
Demulcent
Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah
kekeringan selaput lendir. Obat ini dipakai sebagai pelarut antitusif lain atau
sebagai lozenges yang mengandung madu, akasia, gliserin dan anggur. Secara
obyektif tidak ada data yang menunjukkan obat ini mempunyai efek antitusif yang
bermakna, tetapi karena aman dan memberikan perbaikan subyektif obat ini banyak
dipakai.
2. Antitusif
yang bekerja sentral
Obat ini
bekerja menekan batuk dengan meninggikan ambang rangsang yang dibutuhkan untuk
merangsang pusat batuk. Dibagi atas golongan narkotik dan nonnarkotik.
a.
Golongan narkotik
Opiat dan
derivatnya mempunyai beberapa macam efek farmakologik, sehingga digunakan
sebagai analgesik, antitusif, sedatif, menghilangkan sesak karena gagal jantung
kiri dan antidiare. Di antara alkaloid ini, morfin dan kodein sering digunakan.
Efek samping obat ini adalah penekanan pusat napas, konstipasi, kadang-kadang
mual dan muntah, serta efek adiksi.
Opiat dapat menyebabkan terjadinya bronkospasme karena penglepasan histamin,
tetapi efek ini jarang terlihat pada dosis terapeutik untuk antitusif. Di
samping itu narkotik juga dapat mengurangi efek pembersihan mukosilier dengan
menghambat sekresi kelenjar mukosa bronkus dan aktivitas silia. Terapi kodein
kurang mempunyai efek tersebut.
1)
Kodein
Obat ini merupakan antitusif narkotik yang paling
efektif dan salah satu obat yang paling sering diresepkan. Pada orang dewasa
dosis tunggal 20-60 mg atau 40-160 mg per hari biasanya efektif. Kodein
ditolerir dengan baik dan sedikit sekali menimbulkan ketergantungan. Di samping
itu, obat ini sangat sedikit sekali menyebabkan penekanan pusat napas dan
pembersihan mukosilier. Efek samping pada dosis biasa jarang ditemukan. Pada
dosis agak besar dapat timbul mual, muntah, konstipasi, pusing, sedasi,
palpitasi, gatal-gatal, banyak keringat dan agitasi.
2)
Hidrokodon
Merupakan derivat sintetik morfin dan kodein,
mempunyai efek antitusif yang serupa dengan kodein. Efek samping utama adalah
sedasi, penglepasan histamin, konstipasi dan kekeringan mukosa. Obat ini tidak
lebih unggul dari kodein.
b.
Golongan nonnarkotik
1)
Dekstrometorfan
Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan
ketergantungan, sering digunakan sebagai antitusif nonnarkotik. Obat ini
efektif bila diberikan dengan dosis 30 mg setiap 4-8 jam. Dosis dewasa 10-20
mg, setiap 4 jam, anak-anak umur 6-11 tahun 5-10 mg, sedangkan anak umur 2-6
tahun dosisnya 2,5- 5 mg setiap 4 jam.1
2)
Butamirat
sitrat
Obat golongan antitusif nonnarkotik yang baru
diperkenalkan ini bekerja secara sentral dan perifer. Pada sentral obat ini
menekan pusat refleks dan di perifer melalui aktivitas bronkospasmolitik dan
aksi antiinflamasi. Obat ini ditoleransi dengan baik oleh penderita dan tidak
menimbulkan efek samping konstipasi, mual, muntah dan penekanan susunan saraf
pusat. Dalam penelitian uji klinik, obat ini mempunyai efektivitas yang sama
dengan kodein dalam menekan batuk. Butamirat sitrat mempunyai keunggulan lain
yaitu dapat digunakan dalam jangka panjang tanpa efek samping dan memperbaiki
fungsi paru yaitu meningkatkan kapasitas vital dan aman digunakan pada anak.
Dosis dewasa adalah 3x15 ml dan untuk anak umur 6-8 tahun 2x10 ml, sedangkan
anak berumur lebih dari 9 tahun dosisnya 2x15 ml.
3)
Noskapin
Noskapin tidak mempunyai efek adiksi meskipun termasuk
golongan alkaloid opiat. Efektivitas dalam menekan batuk sebanding dengan
kodein. Kadang-kadang memberikan efek samping berupa pusing, mual, rinitis,
alergi akut dan konjungtivitis. Dosis dewasa 15-30 mg setiap 4- 6 jam, dosis
tunggal 60mg aman dalam menekan batuk paroksismal. Anak berumur 2-12 tahun
dosisnya 7,5-15 mg setiap 3-4 jam dan tidak melebihi 60 mg per hari.
4)
Difenhidramin
Obat ini termasuk golongan antihistamin, mempunyai
manfaat mengurangi batuk kronik pada bronkitis. Efek samping yang dapat timbul ialah
mengantuk, kekeringan mulut dan hidung, kadang-kadang menimbulkan perangsangan
susunan saraf pusat. Obat ini mempunyai efek antikolinergik, karena itu harus
digunakan secara hati-hati pada penderita glaukoma, retensi urin dan gangguan
fungsi paru. Dosis yang dianjurkan sebagai obat batuk ialah 25 mg setiap 4 jam
tidak melebihi 100 mg/hari untuk dewasa. Dosis untuk anak berumur 6-12 tahun
ialah 12,5 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 50 mg/hari, sedangkan untuk anak
2-5 tahun ialah 6,25 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 25 mg/hari.
Retensi cairan yang patologis di jalan napas disebut
mukostasis. Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi keadaan itu disebut
mukokinesis. Obat mukokinetik dikelompokkan atas beberapa golongan.
Sementara itu, obat batuk untuk batuk kering
sering disebut dengan antitusif. Antitusif adalah senyawa yang
bekerja dengan menekan pusat batuk. Contoh antitusif yang biasa digunakan
adalah dekstrometorfan dan difenhidramin. Obat-obat antitusif ini menghentikan
rangsangan batuk, menurunkan frekuensi dan intensitas dorongan batuk karena
refleks batuk ditekan atau dihambat. Jangan gunakan obat batuk jenis
ekspektoran yang berfungsi mengeluarkan dahak untuk mengobati batuk kering
karena hal ini justru dapat menimbulkan batuk berdarah pada penderitanya. Untuk
penderita asma, penggunaan antitusif tidak disarankan jika tidak benar-benar
diperlukan karena dapat menimbulkan sesak sementara batuk sendiri diperlukan
sebagai suatu refleks dan mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda
asing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rhinitis adalah radang membran mukosa
hidung yang ditandai dengan bersin, gatal, hidung berlendir, dan kongesti atau
hidung tersumbat. Rhinitis dapat terjadi karena menghirup alergen, seperti debu,
bulu binatang, serbuk sari bunga tertentu, asap rokok dn polutan.
Banyak
kelompok obat yang digunakan untuk Alergi Hidung atau Rinitis alergi antara lain :
a. Antihistamin
b. Kortikosteroid
c. Dekongestan
d. Antileukotrienes.
Secara umum,
obat-obat pernafasan di golongkan menjadi kelompok dekongestan, mukolitik,
ekspektoran, antitusif dan bronkodilator.
B.
Saran
Untuk para pembaca, sebaiknya tak hanya
menggunakan satu referensi saja dalam mencari suatu materi, dan kami harapkan
agar bisa menggunakan makalah ini sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan di sana sini, sehingga kami mohon kepada para pembaca
sekalian agar berkenan memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun dan
membuat kami semakin berkembang dalam penulisan sebuah makalah atau sejenisnya.
A.
DAFTAR PUSTAKA
Priyatno.Farmakologi dasar.2010.
Depok : Lembaga
studi dan konsultasi farmakologi (leskonfi)
Allergyclinic.2013.Antihistamin dan
farmakokinetiknya. Diakses pada : 18 Maret 2013
Allergyclinic.2013.Penggunaan Obat
Kortikosteroid Pada Penderita Alergi Farmakokinetik Dan Efek Samping. Diakses
pada : 18 Maret 2013
Apotek Bercerita. 2013. Batuk Kering dan Batuk
berdahak apakah sama obatnya. Diakses pada : 20 Maret 2013. Dari : http://apotekerbercerita.wordpress.com/2011/04/01/batuk-kering-dan-batuk-berdahak-apakah-sama-obatnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar