Welcome to Murah Juliana's Blog

Rabu, 03 April 2013

Makalah Farmakologi Keperawatan


MAKALAH
OBAT SISTEM PERNAFASAN




Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakologi Oleh :
Kelompok VII
1.      Dwi Aryani
2.      Ela Murpratiwi
3.      Murah Juliana
4.      Nafiatun Kurniasari



AKADEMI KEPERAWATAN SERULINGMAS CILACAP
2012/2013






BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan dengan susunan organ-organ tubuh yang lengkap yang saling menyatu membentuk berbagai macam sistem, yang diantaranya yaitu sistem pernafasan. Seperti halnya semua benda yang ada didunia ini tak terlepas dari gangguan, begitu juga dengan sistem pernafasan kita. Kemungkinan untuk terjadi gangguan pada sistem pernafasan setiap manusia pasti selalu ada dan bermacam-macam jenis gangguannya serta pengobatannya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan mencoba membahas sedikit ulasan mengenai obat-obatan yang bekerja pada sistem pernafasan manusia dari beberapa sumber yang kami dapatkan untuk memperluas pengetahuan kita mengenai materi farmakologi yang pasti nantinya akan sangat bermanfaat bagi kita sebagai seorang tenaga kesehatan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang di maksud dengan rhinitis?
2.      Apa saja obat-obatan untuk penderita rhinitis?
3.      Bagaimana cara kerja obat tersebut?
4.      Adakah efek samping penggunaan obat-obatan tersebut?
5.      Apa yang di maksud dengan bronkodilator dan dekongestan?
6.      Apa yang di maksud dengan mukolitik dan ekspektoran?
7.      Apa yang di maksud dengan antitusif?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah farmakologi
2.      Untuk menambah wawasan tentang obat-obatan dalam saluran pernafasan
3.      Untuk berbagi pengetahuan dengan para pembaca pada umumnya, dan teman sejawat pada khususnya
4.      Untuk menambah referensi bagi para pembaca sekalian


D.    
BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    RHINITIS
1.      Pengertian
Rhinitis adalah radang membran mukosa hidung yang ditandai dengan bersin, gatal, hidung berlendir, dan kongesti atau hidung tersumbat. Rhinitis dapat terjadi karena menghirup alergen, seperti debu, bulu binatang, serbuk sari bunga tertentu, asap rokok dn polutan. Zat-zat tersebut berinteraksi dengan selmast merangsng pelepasan histamin, leukotrin atau zat lain yang dapat menyebabkan konstriksi bronkus, udem, urtikaria, dan infiltrasi sel.
Terapi rhinitis yang utama dalah pemberian antihistamin oral yang dikombinasikan dengan dekongestan. Namun demikian, sering obat anti alergi diberikan secara topikal untuk mengurangi efek sistemiknya. Efek samping kombinasi antihistamin dengan dekongestan yang diberikan sistemik adalah sedasi atau ngantuk, insomnia dan aritmia (jarang)
2.      Obat Untuk Terapi Rhinitis
Banyak kelompok obat yang digunakan untuk Alergi Hidung atau Rinitis alergi. Obat tersebut antara lain :
a.       Antihistamin
b.      Kortikosteroid
c.       Dekongestan
d.      Antileukotrienes.
Ini dapat dibagi lagi menjadi terapi intranasal dan oral. Pemberian obat intranasal memiliki keuntungan secara langsung mempengaruhi tindakan, dan secara umum, intranasal obat memiliki efek samping lebih sedikit dan tidak ada efek sistemik. Keuntungan utama dari terapi oral adalah kemudahan penggunaan. Beberapa pasien menolak menggunakan obat intranasal.
1.      Antihistamin
a.      Pengertian
Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan.
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar :
1)      Menghambat reseptor H1
H1-blockers (antihistaminika klasik) Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.
2)      Menghambat reseptor H2
H2-blockers (Penghambat asma) obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator motilitas lambung (cisaprida) pada penderita reflux. Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin.
b.      Mekanisme Kerja
1)      Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis daripada untuk mengatasi serangan.
2)      Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
3)      Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
c.       Efek Samping
1)      Mengantuk
Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).
2)      Efek antikolinergik
Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
3)      Diskrasia
Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.
4)      Sensitisasi
Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan urtikaria, eksim dan petekie.
5)      Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.
6)      Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor.
7)      Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
8)      Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
9)      AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi.
10)  Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien hipokalemia).
11)  Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
12)  Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.


2.      Dekongestan
Obat golongan ini sering disebut dekongestan atau orang awam menyebutnya obat pelega pernapasan. Dekongestan menyebabkan konstriksi arterioral di mukosa hidung sehingga mengurangi infiltrasi cairan dari pembuluh darah ke jaringan sekitar yang dapat menyebabkan udem. Selain itu dekongestan juga dapat menyebabkan relaksasi bronkus menyebabkan berkurangnya gangguan aspirasi udara masuk ke paru-paru.
Dekongestan sering diberikan melalui aerosol  untuk memperpendek onzet dan mengurangi efek samping sistemiknya. Jika diberikan melalui oral, efeknya akan panjang tetapi dapat menimbulkan efek samping sepertipeningkaan tekanan darah dan denyut jantung. Kombinasi dengan antihistamin hanya boleh diberikan dalam beberapa hari untuk mengurangi fenomena reboun kongesti jika pemberian obat dihentikan. Contoh agonis α-adrenergik adalah fenileprin, pseudoefedrin, dan okzimetazolin. Obat-obat tersebut bekerja pada reseptor α1 di pembuluh darah mukosa hidung menyebabkan kontriksi sehingga mengurangi perembesan cairan ke jaringan. Selain itu juga bekerja pada reseptor β2 di bronkus menyebabkan dilatasi.
3.      Kortikosteroid
a.      Pengertian
Obat golongan ini diberikan untuk rhinitis jika antihistamin sudah tidak efektif. Obat ini bukan pilihan utama untuk rhinitis karena efek sampingnya yang lebih berat. Obat ini mungkin lebih efektif dari antihistamin oral dalam mengurangi gejala rhinitis baik karena alergi atau non alergi. Untuk mengurangi efek samping sistematiknya kortikosteroid sering diberikan secara topikal melalui nasal spray. Contoh steroid yang sering digunakan adalah beklometason, flutikason, dan triamsinolon.
Kortikosteroid dikenal mempunyai efek yang kuat sebagai anti-inflamasi pada penyakit artritis reumatoid, asma berat, asma kronik, penyakit inflamasi kronik dan berbagai kelainan imunologik. Oleh karena efek anti inflamasi dan sebagai immunoregulator, kortikosteroid memegang peranan penting pada pengobatan medikamentosa penyakit alergi baik yang akut maupun kronik. Tetapi di samping manfaatnya, karena efek sampingnya yang banyak juga menyebabkan penggunaan kortikosteroid ini harus tepat guna dan tepat cara.
Obat ini merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksialergi, asma, hepatitis, systemic lupus erythematosus, inflammatory boweldisease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory boweldisease.
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.
b.      Mekanisme Kerja
1)      Molekul steroid memasuki sel dan berikatan dengan protein spesifik Obat golongan kortikosteroid sebenarnya memiliki efek yang sama dengan hormon cortisone dan hydrocortisone yang diproduksi oleh kelenjar adrenal, kelenjar ini berada tepat diatas ginjal kita (lihat gambar). Dengan efek yang sama bahkan berlipat ganda maka kortikosteroid sanggup mereduksi sistem imun (kekebalan tubuh) dan inflamasi, makanya kalo orang dengan penyakit-penyakit yang terjadi karena proses dasar inflamasi seperti rheumatoid arthritis, gout arthritis (asam urat) danalergi gejalanya bisa lebih ringan setelah pemberian kortikosteroid.
2)      Walaupun tampaknya ada bermacam efek pada fungsi fisiologik, kortikosteroid tampaknya mempengaruhi produksi protein dalam sitoplasma. Kompleks yang terjadi dibawa ke dalam nukleus, lalu menimbulkan terbentuknya mRNA yang kemudian dikembalikan ke dalam sitoplasma untuk membantu pembentukan protein baru, terutama enzim, sehingga melalui jalan ini kortikosteroid dapat mempengaruhi berbagai proses. Kortikosteroid juga mempunyai efek terhadap eosinofil, mengurangi jumlah dan menghalangi terhadap stimulus. Pada pemakaian topikal juga dapat mengurangi jumlah sel mast di mukosa. Kortikosteroid juga bekerja sinergistik dengan agonis β2 dalam menaikkan kadar cAMP dalam sel.
3)      Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspormenembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmikglukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dankemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen danprotein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya.
4)      Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA.
5)      Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh proteinspesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkanekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
6)      Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpanbalik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi.
c.       Efek Samping
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadapbanyaknya efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidakdiinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindromcushing iatrogenik. Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi
Efek samping jangka pendek
1)      Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)
2)      Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
3)      Peningkatan tekanan darah
4)      Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang (orangnya jadi tambah tembem)
Efek samping jangka panjang :
1)      Katarak
2)      Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga mudah patah.
3)      Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal
4)      Menstruasi tidak teratur
5)      Mudah terinfeksi
6)      Penyembuhan luka yang lama
Untuk lebih mengenal obat rhinitis, dalam tabel berikut dicantumkan beberapa contoh beserta dosis lazimnya.
Tabel Obat untuk Rhinitis dan Dekongestan
Nama Obat
Dosis Dewasa
Kegunaan
Klorfeniramin
2 – 4 mg setiap 4-6 jam
Antihistamin
Dimenhidrinat
50 – 100 mg setiap 4-6 jam
Antihistamin
Difenhidramin
25 – 50 mg setiap 4-8 jam
Antihistamin
Terfenadin
60 mg 2 kali sehari
Antihistamin
Astemisol
10 mg/hari
Antihistamin
Loratadin
10 mg/hari
Antihistamin
Ciproheptadin
4 – 20 mg/hari
Antihistamin
Fenilefrin
10 mg setiap 4-6 jam
Dekongestan
pseudoefedrin
30 mg 2 kali sehari
Dekongestan









B.     BRONKODILATOR DAN DEKONGESTAN
1.      Obat Sistemis
a.      Ma Huang,Ephedra spp.
1)      Tumbuhan dan obat
Ma Huang (Ephedra sinica Stapf. Dan spesies famili Ephedraceae lainnya) merupakan obat cina kuno,yang kini digunakan seluruh dunia.Tanaman ini merupakan sumber asli efedrin,berkhasiat sebagai dekongestan dan bronkodilator.Secara tradisional,tanaman ini digunakan untuk mengobati asma dan hidung tersumbat,dalam bentuk tetes hidung.Pseudoefedrin kini lebih banyak digunakan untuk pernapasan tersumbat karena memiliki sifat merangsang system saraf pusat(SSP) yang lebih kecil.Tanaman ini memiliki tangkai hijau ramping,yang memisah menjadi cabang-cabang sekitar 20 tumpukan dengan panjang sekitar 15 cm,dan ujung daun melipat tajam kebelakang.Ini adalah bagian yang berkhasiat sebagai obat.Daunnya berkurang pada bagian pelepah disekitar batang.
2)      Kandungan kimia
Alkaloid,hingga 3%,tetapi sangat bervariasi;alkaloid utamanya adalah (-) –efederin,bersama kandungan lain termasuk (+)-pseudoefedrin,norefedrin,norpseudoefedrin,efekdrosan,N-metilefedrin,maokonin,transtorin dan senyawa efedadrin A-D.komponen lain adalah turunan katekin,dan senyawa diterpen,termasuk efedranin A dan mahuanin A, telahdiisolasidari spesies ephedra lainya.
3)      Efek  farmakologis dan khasiat klinis
Ephedra telah lama digunakan di cina sejak jaman kuno untuk asma dan hay fever,sebagai bronkodilator,simpatomimetik,stimulant SSP dan jantung .Herbalis juga menggunakan taaman ini untuk mengobati enuresis,alergi,narkolepsi dan gangguan lain,dan dalam ekstrak  juga teramati adanya aktifitas anti radang.Efedrin digunakan dalam bentuk eliksir dan tetes hidung,dan memiliki kegunaan tambahan sebagai pemercepat frekuensi jantung dalam pengobatan beberapa tipe bradikardia.Pseudoefedrin,yakni isomer-D efedrin yang di peroleh melalui sintesis kimia,biasanya merupakan  senyawa pilihan untuk isolate sediaan alkaloid.Efedrin dan pseudoefedrin merupakan subjek dalam monografi farmakope eropa(Eur. Ph.),meskipun  herbanya tidak dibahas.Herba efedra digunakan sebagai obat anti alergi;hal ini didukung olehbuti bahwa senyawa ini menginduksi immunoglobulin A dalam koyo Peyer dan memblok aktifasi komplemen melalui jalur klasik maupun alterntif.
4)      Toksikologi
Tanaman ini sering disalahgunakan sebagai obat pelangsing,tetapi ini dapat berbahaya jika digunakan dalam dosis tinggi untuk jangka panjang.Sebaga contoh,peristiwa hipertensi dan kardiovaskular lain,serta suatu kasus hepatitis yang semakin memburuk,pernah ditemukan.Absorbsi efedrin dan pseudoefedrin melambat seelah ingesti herba ini dibandingkan isolat sediaan alkaloid sehingga harus dihindari untuk pasien hipertensi.Herba ini biasaya tidak dipertimbangkan menyebakan hipertensi karena komponen lain seperti afedradin,mahuanin dan maokonin,yang sebetulnya bersifat hipotensif.Namun,penggunaan herba ini harus dihindari dalam kasus tirotoksikosis,glaucoma sudut-tertutup dan retensi urine.Dosis terapeutik herba ini diperkirakan 30 mg alkaloid,dihitung sebagai efedrin.


b.      Teofilin
1)      Tumbuhan dan obat
Meskipun merupakan senyawa xantin alami,teofilin yang terdapat dalam kokoa(theobroma cacao),kopi(coffea ssp) dan the(camellia sinensis),hamper selalu digunakan sebagai senyawa tunggal.senyawa ini diindikasikan untuk obstruksi jalan napas yang reversible,terutama dalam asma akut.Karena batas antar dosis terapeutik dan dosis toksik sempit,serta adanya fakta bahwa waktu paruh sangat bervariasi antar pasien,terutama pada perokok dan penderita gagal jantung atau pada pasien yang menerima obat lain secara bersamaan,penggunaan senyawa ini harus hati-hati.Dosis lazimnya adalah 125-250 mg untuk dewasa,3x sehari dan untuk anak separuh dari dosis dewasa.
2)      Toksiologi
Efek samping teofilin meliput takikardia dan palpitasi,mual dan gangguan gastrointestinal lainnya.Efek samping ini dapat diredakan dengan menggunakan sediaan lepas-terkendali,dan bentuk tersebut merupakan bentuk lazim produk teofilin.

C.    MUKOLITIK DAN EKSPEKTORAN

Tujuan penggunaan obat ini adalah untik mengurangi kekentalan mucus di saluran pernapasan agar memudahkan pengeluaran lender dalam kasus infeksi tenggorokan dan dada.Biasanya,minyak atsiri digunakan bersama senyawa aromatic ekspektoran seperti kamfor.Banyak ekspektoran dicampurkan dalam obat batuk dan meskipun khasiatnya sult di buktikan,produk ini sangat popular pada pasien-pasien yang tidak dapat mendapat pengobatan lain.Semua obat ini di gunakanuntuk batuk dan pilek,bronchitis dan sinusitis,biasanya bersamaan dengan  dekongestan lain,demulsen,analgesic,dan kadang –kadang antibiotic.Beberapa obat ini mengandung minyak  atsiri dan salisilat(minyak pucuk poplar,timi),dan juga dapat mengandung dekongestan yang telah di sebutkan di atas(eukaliptus,mentol);sedangkan yang lain mengandung saponin(misalnya senega,ivy).


1.      Balsam Gilead(kuncup poplar),Populus spp.
a.       Tumbuhan dan obat
Kuncuppoplar(dari beragampopulus spp.,termasuk P.candicans Ait, P.gileadensis Rouleau,P.balsamfera L.,dan P.nigra L.,Salicaceae. Diambil saat musim semi sebelum mekar.P.gileadensis dan P.nigra dibudidaya di eropa,sementara yang lain di Amerika Utara.Pucuk semua spesies ini mirip,panjangnya 2cm dan lebarnya 0,5 cm,dengan seludang bunga dangkal berwarna coklat yang tumpang tindih.Seludang bunga bagian dalam lengket dan mengandung resin.Kulit kayu spesies-spesies ini juga dimanfaatkan.
b.      Kandungan kimia
Semua spesies mengandung glikosida fenolik salisin(glukosida alcohol salisil),populin(benzoil salisin)dan minyak atsiri mengandung α-kariofilen,dengan sineol,bisabolen dan farnesen. Senyawa flavonoid (pinosembrin dan pinobanksin)dan,sedikitnya dalam P.nigra,lignin,dengan dasar isolarisiresinol,telah diisolasi.
c.       Efek farmakologis dan khasiat klinis
Basam gillead merupakan suatu ekspektoran,stimulant,antipiretik,dan analgesic.Balsam ini merupakan kandungan lazim dalam obat batuk herbal dan juga pada salep yang digunakanuntuk rematik dan nyeri otot lainnya.Glikosida fenolat(misalnya salisin) dan kandungan minyak volatile memiliki aktifitas antiseptic dan ekspektoran.Bukti khasiatnya hanya terdapat sedikit,tetapi obat ini lama digunakan secara tradisional.Kulit kayu spesies poplar dimanfaatkan dengan carayang sama dengan kulit kayu willow,sebagai anti rematik.

d.      Toksikologi
B   alsam Gilead umumnya nontoksik.,kecuali untuk pasien yangalergi terhadap salisilat.Jika obat dikonsumsi dalam jumlah berlebihan,dapat terjadi efek merugikan seperti sakit perut dan tinnitus,akibat kandungan salisilatnya.
2.      Timi dan Timi liar,Thymus vulgaris L. dan Thymus serpyllum
a.       Tumbuhan dan obat
Thymus vulgaris(dikenal  sebagai timi kebun atau biasa) dan timi liar (T.serpyllum,induk timi atau serpilum,lamiaceae) merupakan tanaman asli eropa, terutama di wilayah Mediterania, dan di budidaya secara luas. Herba ini berukuran kecil berbentuk elips, berwarna hijau kebiruan dan bertangkai pendek. Daun timi memiliki panjang sekitar 6 mm dan lebar 0,5 – 2 mm, dengan seluruh tepi daun melengkung ke depan. Daun timi liar sedikit lebih lebar dan tepinya tidak melengkung;tanaman ini memiliki daun dengan trikoma yang panjang di pangkalnya. Jika dilihat secara mikroskopik, herba ini mirip, keduanya memiliki ciri trikoma glandula lamiaceae. Perbedaan kecil di jelaskan dalam Eur. Ph. Keduanya memiliki aroma khas timol dan digunakan sebagai bumbu masakan.
b.      Kandungan kimia
Senyawa aktif tanaman ini adalah minyak astiri, yang memiliki kandungan utama timol dan sedikit karvakrol, 1,8-sineol, borneol, metil eter timol dan α-pinen. Meskipun demikian, senyawa falvanoid (apigenan, luteolin, timonin, dll) dan asam polifenolat (labiatat, rosmanirat, dan kafeat) diharapkan memberikan efek anti radang dan antimikroba.
c.       Efek farmakologis dan khasiat klinik
Timi, dan minyak timi, bersifat karminatif, antiseptik, antitusif, ekspektoran dan spasmolitik, serta bahan-bahan ini digunakan untuk batuk, bronkhitis, sinusitus, batuk, rejan dan keluhan pernafasan sejenis. Sebagian besar aktivitas di duga disebabkan adanya timol yang bersifat ekspektoran dan antitusif kuat. Timol dan karvakrol bersifat spasmolitik dan fraksi flavonoid memiliki efek kuat pada otot polos trakea dan illeum marmut. Timol merupakan bahan yang populer digunakan untuk dalam obat kumur, pasta gigi karena bersifat antiseptik dan penghilang bau tak sedap. Minyak dapat digunakan secara internal dalam dosis kecil hingga 0,3 ml, kecuali untuk digunakan sebagai obat kumur karean tidak di maksudkan untuk di telan dalam jumlah banyak.
d.      Toksikologi
Timol bersifat iritan, toksik jika overdosis sehingga harus digunakan secara hati-hati.

Sebenarnya masih banyak lagi bahan-bahan obat Ekspektoran dan Mukolitik yang ada dalam dunia farmakologi, akan tetapi kami hanya sedikit saja mengulas dari dua contoh bahan yang ada.


D.    ANTITUSIF
Secara umum berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan narkotik dan nonnarkotik.1
1.      Antitusif yang bekerja di perifer
Obat golongan ini menekan batuk dengan mengurangi iritasi lokal di saluran napas, yaitu pada reseptor iritan perifer dengan cara anestesi langsung atau secara tidak langsung mempengaruhi lendir saluran napas.1
a.       Obat-obat anestesi
Obat anestesi lokal seperti benzokain, benzilalkohol, fenol, dan garam fenol digunakan dalam pembuatan lozenges. Obat ini mengurangi batuk akibat rangsang reseptor iritan di faring, tetapi hanya sedikit manfaatnya untuk mengatasi batuk akibat kelainan saluran napas bawah.
b.      Lidokain
Obat anestesi yang diberikan secara topikal seperti tetrakain, kokain dan lidokain sangat bermanfaat dalam menghambat batuk akibat prosedur pemeriksaan bronkoskopi.
c.       Demulcent
Obat ini bekerja melapisi mukosa faring dan mencegah kekeringan selaput lendir. Obat ini dipakai sebagai pelarut antitusif lain atau sebagai lozenges yang mengandung madu, akasia, gliserin dan anggur. Secara obyektif tidak ada data yang menunjukkan obat ini mempunyai efek antitusif yang bermakna, tetapi karena aman dan memberikan perbaikan subyektif obat ini banyak dipakai.
2.      Antitusif yang bekerja sentral
Obat ini bekerja menekan batuk dengan meninggikan ambang rangsang yang dibutuhkan untuk merangsang pusat batuk. Dibagi atas golongan narkotik dan nonnarkotik.
a.       Golongan narkotik
Opiat dan derivatnya mempunyai beberapa macam efek farmakologik, sehingga digunakan sebagai analgesik, antitusif, sedatif, menghilangkan sesak karena gagal jantung kiri dan antidiare. Di antara alkaloid ini, morfin dan kodein sering digunakan. Efek samping obat ini adalah penekanan pusat napas, konstipasi, kadang-kadang mual dan muntah, serta efek adiksi.  Opiat dapat menyebabkan terjadinya bronkospasme karena penglepasan histamin, tetapi efek ini jarang terlihat pada dosis terapeutik untuk antitusif. Di samping itu narkotik juga dapat mengurangi efek pembersihan mukosilier dengan menghambat sekresi kelenjar mukosa bronkus dan aktivitas silia. Terapi kodein kurang mempunyai efek tersebut.
1)      Kodein
Obat ini merupakan antitusif narkotik yang paling efektif dan salah satu obat yang paling sering diresepkan. Pada orang dewasa dosis tunggal 20-60 mg atau 40-160 mg per hari biasanya efektif. Kodein ditolerir dengan baik dan sedikit sekali menimbulkan ketergantungan. Di samping itu, obat ini sangat sedikit sekali menyebabkan penekanan pusat napas dan pembersihan mukosilier. Efek samping pada dosis biasa jarang ditemukan. Pada dosis agak besar dapat timbul mual, muntah, konstipasi, pusing, sedasi, palpitasi, gatal-gatal, banyak keringat dan agitasi.
2)      Hidrokodon
Merupakan derivat sintetik morfin dan kodein, mempunyai efek antitusif yang serupa dengan kodein. Efek samping utama adalah sedasi, penglepasan histamin, konstipasi dan kekeringan mukosa. Obat ini tidak lebih unggul dari kodein.
b.      Golongan nonnarkotik
1)      Dekstrometorfan
Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan ketergantungan, sering digunakan sebagai antitusif nonnarkotik. Obat ini efektif bila diberikan dengan dosis 30 mg setiap 4-8 jam. Dosis dewasa 10-20 mg, setiap 4 jam, anak-anak umur 6-11 tahun 5-10 mg, sedangkan anak umur 2-6 tahun dosisnya 2,5- 5 mg setiap 4 jam.1
2)      Butamirat sitrat
Obat golongan antitusif nonnarkotik yang baru diperkenalkan ini bekerja secara sentral dan perifer. Pada sentral obat ini menekan pusat refleks dan di perifer melalui aktivitas bronkospasmolitik dan aksi antiinflamasi. Obat ini ditoleransi dengan baik oleh penderita dan tidak menimbulkan efek samping konstipasi, mual, muntah dan penekanan susunan saraf pusat. Dalam penelitian uji klinik, obat ini mempunyai efektivitas yang sama dengan kodein dalam menekan batuk. Butamirat sitrat mempunyai keunggulan lain yaitu dapat digunakan dalam jangka panjang tanpa efek samping dan memperbaiki fungsi paru yaitu meningkatkan kapasitas vital dan aman digunakan pada anak. Dosis dewasa adalah 3x15 ml dan untuk anak umur 6-8 tahun 2x10 ml, sedangkan anak berumur lebih dari 9 tahun dosisnya 2x15 ml.
3)      Noskapin
Noskapin tidak mempunyai efek adiksi meskipun termasuk golongan alkaloid opiat. Efektivitas dalam menekan batuk sebanding dengan kodein. Kadang-kadang memberikan efek samping berupa pusing, mual, rinitis, alergi akut dan konjungtivitis. Dosis dewasa 15-30 mg setiap 4- 6 jam, dosis tunggal 60mg aman dalam menekan batuk paroksismal. Anak berumur 2-12 tahun dosisnya 7,5-15 mg setiap 3-4 jam dan tidak melebihi 60 mg per hari.
4)      Difenhidramin
Obat ini termasuk golongan antihistamin, mempunyai manfaat mengurangi batuk kronik pada bronkitis. Efek samping yang dapat timbul ialah mengantuk, kekeringan mulut dan hidung, kadang-kadang menimbulkan perangsangan susunan saraf pusat. Obat ini mempunyai efek antikolinergik, karena itu harus digunakan secara hati-hati pada penderita glaukoma, retensi urin dan gangguan fungsi paru. Dosis yang dianjurkan sebagai obat batuk ialah 25 mg setiap 4 jam tidak melebihi 100 mg/hari untuk dewasa. Dosis untuk anak berumur 6-12 tahun ialah 12,5 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 50 mg/hari, sedangkan untuk anak 2-5 tahun ialah 6,25 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 25 mg/hari.
Retensi cairan yang patologis di jalan napas disebut mukostasis. Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi keadaan itu disebut mukokinesis. Obat mukokinetik dikelompokkan atas beberapa golongan. 
Sementara itu, obat batuk untuk batuk kering sering disebut dengan antitusif. Antitusif adalah senyawa yang bekerja dengan menekan pusat batuk. Contoh antitusif yang biasa digunakan adalah dekstrometorfan dan difenhidramin. Obat-obat antitusif ini menghentikan rangsangan batuk, menurunkan frekuensi dan intensitas dorongan batuk karena refleks batuk ditekan atau dihambat. Jangan gunakan obat batuk jenis ekspektoran yang berfungsi mengeluarkan dahak untuk mengobati batuk kering karena hal ini justru dapat menimbulkan batuk berdarah pada penderitanya. Untuk penderita asma, penggunaan antitusif tidak disarankan jika tidak benar-benar diperlukan karena dapat menimbulkan sesak sementara batuk sendiri diperlukan sebagai suatu refleks dan mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Rhinitis adalah radang membran mukosa hidung yang ditandai dengan bersin, gatal, hidung berlendir, dan kongesti atau hidung tersumbat. Rhinitis dapat terjadi karena menghirup alergen, seperti debu, bulu binatang, serbuk sari bunga tertentu, asap rokok dn polutan.
Banyak kelompok obat yang digunakan untuk Alergi Hidung atau Rinitis alergi antara lain :
a.       Antihistamin
b.      Kortikosteroid
c.       Dekongestan
d.      Antileukotrienes.
Secara umum, obat-obat pernafasan di golongkan menjadi kelompok dekongestan, mukolitik, ekspektoran, antitusif dan bronkodilator.

B.     Saran
Untuk para pembaca, sebaiknya tak hanya menggunakan satu referensi saja dalam mencari suatu materi, dan kami harapkan agar bisa menggunakan makalah ini sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan di sana sini, sehingga kami mohon kepada para pembaca sekalian agar berkenan memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun dan membuat kami semakin berkembang dalam penulisan sebuah makalah atau sejenisnya.


A.     
DAFTAR PUSTAKA

Priyatno.Farmakologi dasar.2010. Depok : Lembaga studi dan konsultasi farmakologi (leskonfi)
Allergyclinic.2013.Antihistamin dan farmakokinetiknya. Diakses pada : 18 Maret 2013
Allergyclinic.2013.Penggunaan Obat Kortikosteroid Pada Penderita Alergi Farmakokinetik Dan Efek Samping. Diakses pada : 18 Maret 2013
Apotek Bercerita. 2013. Batuk Kering dan Batuk berdahak apakah sama obatnya. Diakses pada : 20 Maret 2013. Dari : http://apotekerbercerita.wordpress.com/2011/04/01/batuk-kering-dan-batuk-berdahak-apakah-sama-obatnya/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar